Agensi Digital Lokal di Indonesia, Jelmaan Kapitalisme yang Paling Mutakhir

Agensi Digital Lokal di Indonesia, Jelmaan Kapitalisme yang Paling Mutakhir

Perdebatan mengenai kerah putih dan kerah biru, alias buruh kasar dan pekerja kantoran memang telah lama diucapkan. Meski terdengar usang, hal yang dibuat oleh para pengusaha, pebisnis, borjuasi, pemerintahan atau apapun sebutannya, adalah bentuk upaya segregasi untuk memisahkan perjuangan kelas pekerja di Indonesia.

Para buruh pabrik atau pekerja kerah biru memiliki tradisi berserikat untuk melawan ketidakadilan terhadap mereka. Di Indonesia, ada berbagai nama serikat buruh dengan ideologi, bendera, dan warnanya masing-masing.

Namun, tradisi berserikat ini sangatlah jarang ditemui di antara para pekerja kerah putih alias pekerja kantoran. Mereka adalah Squidward Tentacle dari seri kartun Nickelodeon, Spongebob Squarepants yang hanya bisa mengeluh atas setumpuk pekerjaan dan upah murah yang mereka dapatkan.

Marketplace Raksasa dan Konsumerisme Masyarakat Indonesia

Pada tahun 2020 sampai dengan 2021, seluruh dunia diporak-porandakan oleh pandemic Covid-19. Hampir semua bisnis offlline terhenti. Bukannya terganggu. Namun, kapitalisme justru membentuk wajah barunya di masa paceklik ini.

Marketplace atau pasar online menjadi opsi bagi masyarakat untuk memuastkan hasrat konsumerisme yang telah lama dibentuk kapitalisme gaya lama sebelumnya. Marketplace raksasa seperti Shopee, Tokopedia dan juga TikTok Shop di Indonesia menjadi tempat baru bagi masyarakat untuk berbelanja.

Marketplace-marketplace ini juga menumbuhkan borjuis-borjuis kecil baru yang mulai mencoba untuk berjualan secara online melalui marketplace yang telah saya sebutkan sebelumnya. Bahkan bisnis-bisnis raksasa juga turut terjun untuk meraup nilai lebih dari hadirnya beragam marketplace dan konsumerisme masyarakat Indonesia ini.

Creative Digital Agensi dan Eksploitasi Kelas Pekerja

Jika ingin sukses berbisnis dan meraih keuntungan berlipat ganda di marketplace, para borjuis ini harus melakukan berbagai optimasi pada toko online mereka. Mulai dari foto produk, pembuatan deskripsi produk atau copywriting, desain, video produk, konten iklan dan berbagai hal kreatif lainnya.

Kebutuhan ini menghadirkan bisnis baru berupa agensi kreatif di Indonesia. Bahkan, bisnis agensi kreatif ini bak jamur di musim penghujan. Muncul di berbagai kota-kota besar, dari mulai Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta sampai dengan kota Bandung. Lalu apa permasalahan dari bisnis ini?

Karena termasuk sebagai bisnis baru, bisnis kreatif agensi menjadi tempat yang sangat eksploitatif bagi para pekerjanya. Dibandingkan dengan perusahaan biasa, digital kreatif agensi adalah tempat yang kerap melangkahi peraturan negara dan mengoptimalkan UU Ciptaker yang dibuat oleh pemerintah.

Penulis sendiri telah dua kali bekerja di perusahaan kreatif agensi. Keadaannya sama. Pekerjaan yang super menumpuk, makian dari boss karena para sales tidak dapat mencapai target, orang-orang kreatif yang kelelahan setiap hari karena tumpukan pekerjaan yang luar biasa. Tidak sampai situ saja, meski tidak semua, hampir semua kreatif agensi tidak memberikan upah lembur bagi para pekerjanya yang bekerja lebih dari jam kerja.

Sialnya, lembur di kreatif agensi sudah dianggap lumrah dan bagian dari risiko bekerja di agensi. Melihat banyak pekerja yang kerap bekerja lembur, alih-alih memberikan kebijakan memberikan upah lembur, boss seakan tidak memperdulikan hal tersebut. Boss atau pemilik modal di digital agensi selalu berkelit bahwa mereka selalu merugi karena harus membayar upah setiap pekerja sedangkan mereka hanya memiliki sedikit client.

Pelanggaran-Pelanggaran Umum di Lingkungan Kerja Kreatif Agensi Lokal

Dari dua perusahaan yang menjadi sample saya, saya selalu bertanya pada rekan-rekan kerja saya yang lain perihal kekaryawanan. Dari setiap obrolan dengan berbagai pekerja di berbagai posisi, kesimpulannya hanya satu, di agensi, tidak ada karyawan tetap dan hanya ada pekerja kontrak.

Artinya, setiap karyawan sendiri dapat dipecat dan digantikan oleh orang baru jika masa kontrak habis. Sialnya, kontrak yang ditawarkan oleh para agensi ini terkadang tidak manusiawi. Beberapa pekerja bahkan hanya dikontrak 1 sampai 3 bulan saja. Paling lama, seorang pekerja di angensi di kontrak selama satu tahun.

Kita belum membicarakan soal asuransi maupun BPJS Ketenagakerjaan yang menjadi hak dasar para pekerja di Indonesia. Di digital agensi, BPJS adalah hal yang hampir tidak pernah dibahas sama sekali. Semua hanya harus bekerja, berputar bak roda truk yang membawa beban berat dan mengulanginya setiap hari. Pekerja agensi adalah Sisyphus di era digital.

Di beberapa perusahaan agensi, mereka menerapkan sistem 8 jam kerja dari hari Senin sampai Jumat. Namun ada juga yang mencurangi jam kerja dengan menerapkan sistem 8 jam kerja dari hari Senin sampai Jumat. Ditambah bekerja di hari sabtu namun bekerja setengah hari. Biasanya dari jam 8 pagi sampai jam 1 siang.

Beberapa digital agensi lokal di Indonesia yang telah “stabil” dapat memberikan upah UMR di setiap domisili kota mereka. Namun, kebanyakan, digital agensi ini sama sekali tidak memberikan UMR bagi para karyawannya. Lagi-lagi, saya bertanya ke beberapa rekan kerja saya, kebanyakan dari mereka hanya mendapat upah pas-pasan. Bahkan ada yang mendapat upah yang sangat rendah meski tumpukan pekerjaannya sudah setinggi puncak gunung Semeru.

Bagi Anda yang mungkin belum tahu, membicarakan upah adalah hal yang tabu dan dilarang dibicarakan di lingkungan kerja digital angensi. Bahkan di tempat saya bekerja, hal ini dijadikan peraturan utama. Setiap karyawan dilarang mengetahui upah satu sama lain tanpa alasan yang jelas.

Ini adalah strategi perusahaan sekaligus bukti bahwa ada kesenjangan luar biasa mengenai upah antar pekerjanya. Pemilik bisnis mungkin takut jika para karyawannya menuntut kenaikan upah jika sesama karyawan mengetahui upah satu sama lain.

Kebusukan lain dari digital agensi adalah penggunaan karyawan magang atau karyawan intern. Karyawan intern ini diupah sangat rendah atau bahkan tidak diberi upah sama sekali dengan alasan tidak memiliki pengalaman kerja atau belum menyelesaikan pendidikan tinggi mereka. Namun entah mengapa, dengan semua kegilaan ini, banyak sekali orang yang ingin bekerja di kreatif agensi atau ingin magang di perusahaan seperti ini.

Creative Agency dan Upaya Berserikat

Karyawan di perusahaan agensi biasanya diisi oleh anak-anak muda yang belum memiliki kesadaran terhadap hak-hak pekerja. Mereka juga tidak mengetahui apalagi bergabung dengan serikat pekerja. Kembali lagi, hal ini terjadi karena serikat ini identik dengan pekerja-pekerja pabrik.

Padahal, di sebuah kreatif agensi, serikat sangat dibutuhkan. Sebab dinamika perubahan peraturan yang merugikan dan mengeksploitasi para pekerja dapat terjadi dengan sangat cepat. Penulis, sebagai anggota serikat PPAS hari ini hanya bisa memberikan sedikit edukasi melalui obrolan ringan di warung kopi saat jam istirahat mengenai hak-hak pekerja.

Penulis selalu menekankan bahwa bekerja adalah sebuah ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas. Namun, saat dihadapkan dengan kenyataan yang ada, di lingkungan kerja, hampir setiap pekerja mengeluh, tidak ada keikhlasan yang terlihat. Ini menjadi sesuatu yang luar biasa aneh.

Berserikat di digital angensi bukan mustahil. Namun, penulis sangatlah pesimis dengan keadaan. Kami memiliki penderitaan yang sama, namun kami tidak pernah memiliki waktu untuk berbagi penderitaan. Kami sibuk memperkaya boss dengan bekerja lembur tanpa dibayar dan sibuk mempertahankan lingkungan buruk yang sebenarnya kami sadari namun tak pernahb berani kami ungkapkan.