#IndonesiaGelap: Akumulasi Kekerasan Negara Lintas Zaman

#IndonesiaGelap: Akumulasi Kekerasan Negara Lintas Zaman

Awal Mula #IndonesiaGelap

Tagar #IndonesiaGelap pertama kali muncul sebagai sebuah penamaan atas serangkaian demonstrasi yang terjadi di berbagai kota di Indonesia pada Februari 2025. Rangkaian aksi ini muncul sebagai respons atas berbagai kebijakan rezim Prabowo - Gibran yang tak hanya mengesampingkan kepentingan publik, tetapi juga menindas. Salah satunya menyoal kebijakan ekonomi. Lewat Instruksi Presiden No. 1 tahun 2025 yang dikeluarkan pada Januari, rezim Prabowo - Gibran mencanangkan pemotongan anggaran besar-besaran yang berdampak buruk dalam berbagai aspek seperti meningkatnya tingkat pengangguran, mengurangnya pemenuhan hak-hak dasar publik, menurunnya kualitas pendidikan, dan sebagainya. 

Pemotongan anggaran besar-besaran ini dikenal dengan istilah “efisiensi anggaran”. Dengan alasan melakukan efisiensi anggaran negara, rezim Prabowo - Gibran memangkas salah satunya anggaran pendidikan yang berdampak signifikan pada beberapa pos belanja strategis yang mendukung aktivitas pendidikan, termasuk di dalamnya beberapa program beasiswa, bantuan pendanaan bagi perguruan tinggi negeri, serta tunjangan guru non-PNS, tunjangan dosen, dan beberapa program lainnya. Hal ini berdampak tak hanya pada kualitas pendidikan itu sendiri, tetapi juga pada kesejahteraan para tenaga pengajar. Guru honorer dan dosen menjadi salah dua yang paling terdampak dari kebijakan ini. 

Dalih efisiensi juga kemudian dijadikan justifikasi pemerintah untuk mangkir dari tanggung jawab HAM-nya, khususnya bagi para korban pelanggaran berat HAM masa lalu. Pasalnya, pemangkasan anggaran juga menyasar beberapa lembaga HAM nasional seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan. 

Temuan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) mengungkapkan terdapat sejumlah korban pelanggaran berat HAM masa lalu tak lagi mampu mengakses hak-hak mereka atas pemulihan yang merupakan tanggung jawab negara. Beberapa dari mereka kini tak lagi mendapat bantuan medis karena pemangkasan anggaran berdampak pada pembiayaan rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Tak hanya itu, proses verifikasi korban-korban pelanggaran berat HAM masa lalu di berbagai tempat juga terhambat karena adanya pemangkasan biaya operasional bagi lembaga-lembaga tersebut. 

Hal tersebut berdampak pada tidak adanya pengakuan negara atas kondisi para korban, karena pengakuan negara mensyaratkan adanya dokumen verifikasi itu sendiri. Dan tanpa pengakuan negara, tidak akan ada pemulihan bagi mereka. 

Di sini terlihat jelas, bahwa Negara, dalam tabiatnya yang paling asli, selalu mencari upaya untuk lepas dari tanggung jawab HAM-nya dengan menyusun sebuah mekanisme berisi syarat-syarat yang prosesnya ia persulit dan batalkan sendiri.

Paragraf-paragraf di atas baru membahas efisiensi yang menyasar dua sektor, yakni pendidikan dan pemulihan korban pelanggaran berat HAM, yang dampak negatifnya sudah sedemikian besar. Faktanya, masih banyak dampak negatif lain yang terjadi karena efisiensi yang dilakukan oleh Negara sembari berpura-pura ini adalah langkah yang harus diambil karena tidak ada pilihan lain.

Nyatanya, pemangkasan anggaran di aspek pendidikan, di berbagai lembaga HAM, dan sektor-sektor lain yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran, penghisapan kelas pekerja, terbatasnya akses korban pelanggaran berat HAM atas hak-haknya, dan sulitnya hidup banyak orang, sengaja dipilih di antara pilihan-pilihan lain yang lebih masuk akal. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan tingginya anggaran yang dialokasikan bagi institusi TNI lewat Kementerian Pertahanan, Polri, dan Kejaksaan RI. Anggaran bagi ketiga instansi tersebut tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Dengan demikian, apabila pemerintah betul-betul ingin melakukan efisiensi, TNI, Polri, dan Kejaksaan RI seharusnya menjadi tiga institusi yang paling pertama disasar. Nyatanya tidak.

Di tengah efisiensi dan segala dampak buruknya, pengistimewaan terhadap dua dari tiga institusi ini, yakni TNI dan Polri, menjadi hal yang semakin menunjukkan keberpihakan pemerintah bukanlah pada rakyat, dan kesan pengistimewaan ini pun tidak berdiri secara tunggal. Selain soal anggaran, dua institusi ini juga semakin dianakemaskan lewat pembuatan beberapa undang-undang yang, lagi-lagi, semakin merugikan rakyat sembari di saat yang bersamaan, semakin menguntungkan mereka.

Salah satunya adalah pengesahan RUU TNI yang disahkan menjadi UU TNI pada Maret lalu. Secara terang-benderang, UU tersebut membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi prajurit TNI memiliki lebih dari satu pekerjaan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Itu hanya salah satu contoh. Contoh lain adalah bagaimana wewenang TNI diperluas untuk menyentuh ruang-ruang sipil. Secara lebih lengkap, hal ini pernah diulas dalam tulisan lain di website ini.

Rezim yang sama juga sedang menggodok dua RUU yang sama-sama akan merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan aparat negara. Kedua RUU tersebut adalah RKUHAP yang akan memperkuat wewenang berbagai instansi dalam proses penegakan hukum, termasuk di dalamnya Polri, dan RUU Polri itu sendiri. 

Hal-hal itu tentu sangat kontradiktif dengan fakta bahwa kedua institusi tersebut masih tercatat menjadi instansi yang teramat banyak menyumbang angka pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan secara berlebihan, penyiksaan, berbagai bentuk pelanggaran HAM, serta penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. 

Sebagai institusi, TNI menyimpan segudang masalah. Mulai dari ketika masih bernama ABRI, ia adalah sebuah entitas yang membunuh jutaan orang sejak 1965 hingga 1998, belum termasuk mereka yang dihilangkan secara paksa dan belum ditemukan hingga saat ini. Sejak berdirinya Republik Indonesia, telah terjadi 17 kasus yang ditetapkan Komnas HAM sebagai pelanggaran berat HAM, dan hampir semuanya dilakukan oleh tentara. Belasan angka tersebut belum termasuk pelanggaran-pelanggaran HAM lain yang tidak dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM.

Tentara, yang sejak reformasi 1998 disebut sebagai TNI, juga masih konsisten sebagai penyumbang kekerasan di seluruh Indonesia. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 64 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap masyarakat sipil dalam periode Oktober 2023 hingga Oktober 2024, terdiri dari 37 tindakan penganiayaan, 11 tindak penyiksaan, 9 kasus intimidasi, 5 tindakan tak manusiawi, 3 tindakan perusakan, 1 kasus penculikan, dan 1 kasus kejahatan seksual. Peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 75 orang luka-luka dan 18 orang tewas.

Tak hanya TNI, KontraS mencatat sepanjang 100 hari pemerintahan rezim Prabowo - Gibran sejak Oktober 2024 hingga 2025 saja, sudah terjadi 136 kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri. Jumlah tersebut belum termasuk puluhan kekerasan lain yang dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan berbagai rangkaian demonstrasi #IndonesiaGelap, #TolakRUUTNI, dan Hari Buruh pada rentang Februari hingga Mei 2025. Tak hanya ratusan demonstran yang menjadi korban luka-luka akibat kekerasan polisi, jurnalis dan petugas medis pun turut menjadi sasaran.

Bila dalam 100 hari pemerintahan Prabowo - Gibran saja mereka sudah tercatat melakukan 136 kekerasan, bayangkan berapa banyak kekerasan yang telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024, organisasi yang sama mencatat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri, dengan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Termasuk di dalamnya adalah 35 peristiwa pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) yang menewaskan 37 orang.

Rentetan fakta tentang prajurit tentara dan aparat kepolisian yang kerap gagal dalam melakukan tugasnya, dan seringkali secara brutal melakukan kekerasan, penyiksaan, juga sarat dengan praktik korupsi, pemerasan –dan semua hal buruk yang mampu dibayangkan– dalam melakukan kerja-kerjanya, diikuti dengan kenyataan bahwa Negara di bawah pemerintahan Prabowo - Gibran justru ingin menguatkan kedua institusi tersebut tanpa melakukan evaluasi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang mereka lakukan secara berkeadilan, semakin menegaskan kalimat bahwa Negara melihat rakyat sebagai musuh dan ancaman semata. 

Polisi dan Tentara: Kacung-Kacung Para Pemodal

Ngototnya negara memperkuat dua institusi pelanggar HAM tersebut tentu tak mungkin dilakukan tanpa alasan. Rentetan kejadian yang berhasil direkam dan dihimpun oleh berbagai aktor pegiat HAM menunjukkan bahwa segenap kekerasan yang dilakukan polisi dan tentara hampir selalu didasari alasan yang sama: mengokohkan dominasi negara atas rakyatnya dengan menumbuhkan ketakutan. 

Salah satunya, ketakutan-ketakutan itu disusun, dikembangkan, dan dipelihara atas nama memelihara stabilitas nasional. Stabilitas nasional yang dimaksud diterjemahkan sebagai tidak adanya suara yang berbeda dari pemerintah, mewujud sebagai penyingkiran terhadap siapapun yang menentang kebijakannya. Dan ini selalu terjadi berulang-ulang, siapapun pemerintahnya.

Stabilitas nasional adalah salah satu syarat mutlak masuknya investasi asing untuk pembangunan. Dan atas nama pembangunan, selama sepuluh tahun pemerintahannya sejak 2014 - 2024, rezim Joko Widodo membungkam siapa saja yang melawan kebijakan pembangunanisme-nya. Tuduhan “melawan kepentingan nasional” dijadikan justifikasi atas sederet represi dan kekerasan yang dilakukan di berbagai wilayah administratif Indonesia. 

Kekerasan-kekerasan itu kemudian dapat kita lihat sebagai wujud konkret dari bagaimana Negara selalu menghamba pada kepentingan kapital para pengusaha, meskipun itu berarti meminggirkan kelestarian lingkungan, krisis iklim, dan hak asasi manusia. Sebab, yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” yang selalu menjadi alasan di balik segenap kekerasan terhadap rakyat yang tak jarang menelan korban jiwa tak lebih dari semata-mata kepentingan para pemodal besar dan penguasa, dan itu selalu bersembunyi di balik kedok pembangunan, yang di era Jokowi mewujud proyek strategis nasional (PSN).

Mengacu pada laporan bayangan (alternative report) yang dikirim Human Rights Working Group (HRWG) mewakili koalisi masyarakat sipil ke Komite Hak-hak Sipil Politik (Committee on the Covenant of Civil and Political Rights) atau CCPR maupun ke Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Social and Cultural Rights) atau CESCR pada 2024, data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat tingginya kriminalisasi terhadap pembela HAM dan lingkungan dalam PSN. Hingga 2023, dari 35 proyek PSN yang diadvokasi LBH - LBH yang dinaungi YLBHI, sedikitnya 85 orang dikriminalisasi. Tercatat sebanyak 212 letusan konflik agraria yang mengakibatkan 497 kasus kriminalisasi pejuang hak tanah (land rights defenders). Sedikitnya, 268 pembela HAM, isu lingkungan, dan masyarakat adat diserang.

Sedangkan, sepanjang tahun 2015 hingga 2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi setidak-tidaknya 73 konflik terkait proyek strategis nasional (PSN). Dari 161 PSN yang tercatat per September 2023, kesemuanya merampas tanah ulayat, yang menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terjadi 301 kasus melibatkan perampasan 8,5 hektar tanah masyarakat adat hanya dalam kurun waktu 2018 hingga 2022.

Kekerasan tak berhenti di situ saja. Pemerintah rupa-rupanya sadar betul bahwa untuk dapat terus menjalankan agenda besarnya untuk membela kepentingan para pemodal terus-terusan merampok rakyat, ia tetap membutuhkan popularitas dan dukungan mayoritas. Sebab, itulah satu-satunya legitimasi baginya untuk tetap berkuasa dan leluasa melakukan praktik-praktik penghisapan itu.

Untuk alasan itu, muncullah kepentingan Negara untuk menampilkan wajah yang populis. Itu sebabnya pemerintah terus-terusan melahirkan kebijakan-kebijakan berbasis populisme; kekerasan-kekerasan lain dilakukan dengan meneruskan stigma, diskriminasi, dan melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap kelompok-kelompok rentan yang ditolak sebagian besar masyarakat. 

Kelompok LGBTQIA+ terus menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Para penganut agama minoritas dan penghayat kepercayaan luhur terus-terusan direpresi dan dibatasi haknya, sebab yang mayoritas membenci mereka yang dianggap liyan dan “sesat”. Pengungsi tidak diberikan hak-haknya sebab sebagian besar masyarakat membenci para pendatang. Kelompok-kelompok ras minoritas juga terus distigma. Hal-hal tersebut dengan sadar dilakukan oleh pemerintah. Kebencian satu sama lain terus dipelihara. Sebab pemerintah sadar, perlu ada semacam opium-opium kecil yang diberikan kepada sebagian besar masyarakat untuk melenakan dan mendistraksi mereka dari masalah yang jauh lebih besar.

Penangkapan sewenang-wenang ratusan orang, kriminalisasi, kekerasan, dan intimidasi yang terjadi dalam ratusan letusan konflik agraria, juga perampasan berhektar-hektar tanah ulayat, termasuk di dalamnya penggusuran, dan lain-lain, dilakukan Negara menggunakan dua alatnya yang paling brutal: polisi dan tentara. 

Hal ini sudah menjadi pengetahuan masyarakat internasional. Bahkan dalam salah satu forum HAM PBB, yakni dalam sebuah sesi Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) tahun 2022 di mana Indonesia menjadi negara yang ditinjau situasi HAM-nya, dinyatakan bahwa angkatan bersenjata adalah aktor yang harus bertanggung jawab atas kekerasan struktural yang sudah terjadi selama bertahun-tahun di Papua, dan pemerintah direkomendasikan untuk melakukan investigasi atas hal itu. Sebuah rekomendasi yang tentu saja ditolak oleh pemerintah.

Legalisme Otokrasi: #IndonesiaGelap di Bawah Cengkeraman Oligarki

Kapitalisme, dalam tabiatnya yang paling mendasar, selalu tentang penghisapan. Negara, dengan segala kekuasaannya, kawin-mawin dengan para pemodal untuk menghisap pekerja, sumber daya alam, dan segala hal yang mungkin dihisap. Mereka yang kawin-mawin ini kemudian kita kenal dengan sebutan oligarki.

Bermodalkan kekuasaannya, Negara senantiasa hadir untuk memenangkan kepentingan para oligarki dengan segala macam cara. Karena Indonesia adalah negara hukum, dan demi kepentingan mempertahankan wajah yang ramah, sudah tentu Negara tidak mau melakukan pelanggaran hukum. Lalu yang selanjutnya diubah bukanlah tabiatnya, melainkan hukum itu sendiri. Hal ini kemudian dikenal dengan istilah legalisme otokrasi.

Lewat segenap wewenangnya, Negara melahirkan hukum-hukum drakonian dalam produk-produk hukum barunya maupun dalam merevisi produk-produk hukum sebelumnya. Revisi KUHP dan Revisi UU ITE adalah salah dua produk hukum yang menyimpan begitu banyak pasal-pasal yang membatasi hak masyarakat untuk menyuarakan kritisisme mereka. Lewat pasal-pasal ini, siapapun yang mengkritik pemerintah bisa dipidana dengan dalih penghinaan presiden, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, berita bohong, atau alasan-alasan lain. Alasannya tentu saja, untuk meminimalisir “gangguan” terhadap “stabilitas nasional” tadi. Tujuannya jelas, untuk membangun infrastruktur yang membuat penghisapan oleh kepentingan para oligarki ini bisa berjalan dengan lancar tanpa gangguan. Sekali lagi, Negara melihat masyarakatnya sebagai musuh dan ancaman.

Rupanya, Negara tidak puas dengan hanya membuat produk-produk hukum drakonian dengan maksud membangun infrastruktur atas segala penghisapan dan kejahatan lainnya. Negara juga membuat serangkaian produk hukum yang kali ini lebih terang-benderang melegitimasi penghisapan-penghisapan tersebut. Di era Jokowi, Negara membuat Omnibus Law Cipta Kerja yang melemahkan posisi tawar kelas pekerja dan menguntungkan pemodal-pemodal besar. 

Para kapitalis dibuat lebih mudah melakukan pemecatan atas para pekerjanya lewat penghapusan ketentuan batas waktu kerja kontrak. Hak-hak pekerja dikurangi. Formula pengupahan diubah sehingga merugikan pekerja dan menguntungkan pemilik modal, disertai dengan penghapusan sanksi bagi perusahaan yang mengupah di bawah standar yang ditentukan. Izin-izin pendirian perusahaan dipermudah, syarat-syaratnya dikurangi, memudahkan perusahaan-perusahaan ekstraktif yang berdaya rusak lingkungan dan menghisap sumber daya alam untuk berdiri dan beroperasi.   

Dengan semangat penghisapan yang sama dan penghambaan pada pemodal yang juga tak kalah besarnya, rezim Jokowi juga membuat UU IKN yang –salah satu klausulnya– memberikan hak guna usaha selama 190 tahun. Secara terang-terangan Jokowi menyatakan, hal itu sengaja dibuat untuk menarik investor. Lagi-lagi, atas nama pembangunan, satu-satunya yang diuntungkan adalah para pemodal. 

Keberlanjutan Penindasan Negara

Segala penindasan, penghisapan, kekerasan, kejahatan, kebrutalan dan segala nama panggilannya yang terjadi di era Jokowi, juga sudah terjadi di era Prabowo - Gibran, dan tentunya masih akan berlanjut. Apalagi secara terang-terangan Prabowo - Gibran menyatakan akan mengusung keberlanjutan dari rezim sebelumnya. Hal yang tak mengagetkan, mengingat besarnya andil Jokowi dalam menyalahgunakan kekuasaan agar Prabowo terpilih menjadi presiden dan Gibran, putra sulungnya, menjadi wakil presiden.

Akan tetapi, apa-apa yang dilakukan di rezim Jokowi juga merupakan replikasi dari apa yang pula telah dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya, terutama di rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Soeharto adalah orang yang secara terang-terangan menggunakan angkatan bersenjata sebagai alatnya untuk naik ke kursi kekuasaan sejak hari pertama. Sebagai Jenderal Angkatan Darat, ia menggunakan institusi tersebut untuk pertama-tama memanipulasi sejarah, lalu mendominasi narasi sarat kebohongan sebagai legitimasi untuk memberangus lawan-lawan politiknya pada tahun 1965. Dampaknya, orang-orang yang dianggap komunis ataupun terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi sayapnya dibunuh oleh tentara. Jumlahnya tak pernah benar-benar dapat dihitung, diperkiraan antara 500.000 hingga 3.000.000 jiwa. 

Sejarah yang dimanipulasi dengan menyematkan tuduhan kepada PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan para jenderal di 30 September 1965 malam, menjadi justifikasi atas kebencian terhadap mereka yang dianggap komunis, tidak hanya pada yang mati dibunuh, juga pada mereka yang diasingkan ke Pulau Buru, ataupun mereka yang sedang berada di luar negeri dan tidak diizinkan kembali ke Indonesia hingga menjadi eksil di negara-negara tempat mereka berada. Tak sedikit pula yang menghabiskan sisa hidup mereka dengan sematan eks tahanan politik. Stigmatisasi yang melintasi generasi, sebab kebohongan itu dimuat dalam kurikulum pendidikan sejarah yang disebarkan selama berpuluh-puluh tahun, dan anak-anak mereka kemudian melangsungkan hidup mereka sebagai target kebencian masyarakat, terus menerus menghadapi diskriminasi dan kekerasan baik secara vertikal maupun horizontal.

Serangkaian pelanggaran berat HAM lain terjadi di bawah pemerintahan Soeharto. Mengawali pemerintahannya dengan pelanggaran berat HAM, menjelang akhir pemerintahannya di tahun 1998, pemerintahan Soeharto menghilangkan secara paksa para aktivis yang kritis terhadap pemerintahannya. Prabowo Subianto, presiden Indonesia saat ini, terlibat dalam peristiwa itu. Hal itu di kemudian hari juga dinobatkan sebagai pelanggaran berat HAM yang juga dilakukan oleh rezim Orde Baru.

Rupa-rupanya, mereka saling mereplikasi satu sama lain. Apa yang dilakukan Soeharto yang beberapa di antaranya dilakukan bersama Prabowo, dilakukan oleh Jokowi, dan kembali dilanjutkan oleh Prabowo. Bila Soeharto kerap menyingkirkan suara-suara yang kritis terhadap pemerintahannya, Jokowi melakukan kriminalisasi yang pula tak sedikit terhadap para aktivis yang menentang kebijakannya. Bahkan, ia menyempurnakannya: sebab penyingkiran, pembungkaman dan represi yang ia lakukan kini dibenarkan secara hukum positif. Dan Prabowo, ia juga sudah mulai melakukannya, dan besar kemungkinannya akan tetap melakukan hal yang sama.

Bila Soeharto kerap menggunakan angkatan bersenjata untuk mengamankan kepentingannya, pun demikian dengan Jokowi. Kriminalisasi, intimidasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang tak terhitung jumlahnya di bawah rezim Jokowi juga dilakukan oleh kacung-kacung yang sama: tentara dan polisi. 

Bila di zaman Soeharto militer dianakemaskan, pun demikian di era Jokowi. Bila pada Reformasi 1998, ketika polisi dan tentara dipisahkan dengan semangat membatasi militer dari ruang hidup sipil, hal itu justru kemudian dibatalkan di era Jokowi. Militer diberikan jabatan-jabatan di ruang sipil, membuka ruang intervensi ala militeristik di ruang-ruang yang seharusnya tak boleh mereka masuki. Dan hal ini diparipurnakan oleh Prabowo dengan, lagi-lagi, pembuatan produk hukum yang membuatnya terlihat legal dan tidak menyalahi aturan, lewat pengesahan UU TNI. 

Penghambaan luar biasa pada kapitalis –dan kapitalisme– yang kini menjadi basis jalannya pemerintahan Prabowo dan sebelumnya dilakukan oleh Jokowi, juga mereplikasi Soeharto habis-habisan yang bahkan sejak tahun pertama pemerintahannya membuka ruang sebesar-besarnya bagi Freeport mengeruk emas di Papua, yang masih berlangsung sampai sekarang dan melahirkan tak terhitungnya kerusakan lingkungan dan kekerasan struktural di sana –dan itu hanya salah satu dari betapa banyak perusahaan pengeruk sumber daya alam yang kini berkali-kali lipat jumlahnya, dengan daya rusak yang juga tak kalah hebat.

***

Tagar #IndonesiaGelap mulanya muncul sebagai penamaan atas rangkaian aksi merespon kebijakan sarat penindasan pemerintahan Prabowo. Namun, apa yang dilakukan Prabowo tidak berdiri secara tunggal maupun berasal dari ruang hampa. 

Kebijakan Prabowo yang anti rakyat itu rupanya memiliki akar masalah yang sama dengan segenap kejahatan, kekerasan, penindasan, penghisapan, pelanggaran HAM, brutalitas polisi, dan brutalitas tentara yang juga terjadi di rezim Jokowi, yang bila ditelusuri lebih jauh lagi, pula dilakukan di rezim Orde Baru di bawah Soeharto. 

Hal-hal ini yang kemudian menjadi semacam kesepakatan baru bahwa rupanya #IndonesiaGelap tak cukup hanya menjadi penamaan atas serangkaian aksi unjuk rasa di bulan Februari 2025 saja. Lebih jauh dari itu, ia merupakan penggambaran atas apa yang telah, sedang, dan masih akan terjadi di Indonesia –entah sampai kapan. 

Tapi setidaknya, #IndonesiaGelap dapat dilihat sebagai sebuah permulaan, bahwa orang-orang mulai sadar Negara ternyata tak lebih dari rentetan kekejaman, kejahatan, dan kegagalan. Dan barangkali ia akan sampai pada titik di mana orang-orang mampu untuk memulai diskursus baru: apakah kita betul-betul butuh Negara, atau jangan-jangan tidak?